CARA MEMPEROLEH AKHLAQ YANG MULIA


akhlaq yang mulia bisa berupa sifat alami dan bisa berupa sifat

yang dapat diusahakan atau diupayakan. Dan bahwasanya yang

bersifat alami tentu sempurna dari yang satunya. Dan juga telah

kita sebutkan dalil yang menunjukan akan hal ini, yaitu sabda

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada Asyajj bin 'Abdul Qais:

بل جبلك الله عليهما

"Allah-lah yang telah mengaruniakan keduanya padamu20".

Dan begitu pula, karena akhlaq mulia yang bersifat alami tidak

akan bisa hilang dari seseorang, sedangkan akhlaq yang

dihasilkan dengan cara membiasakannya bisa saja terlewat dari

seseorang dalam situasi dan kondisi tertentu. Karena orang

tersebut memerlukan kebiasaan, kerja keras, latihan dan

kesungguhan. Dan terkadang ia juga perlu mengingat-ingatnya

lagi ketika terjadi hal-hal yang dapat membangkitkan emosinya.

Untuk itu ada seorang pemuda datang kepada Nabi Shallallahu

‘alaihi wa Sallam lalu berkata: Wahai Rasulullah, beri aku nasehat, beliau menjawab: لا تغض ب "Janganlah engkau marah",

kemudian beliau terus mengulanginya seraya berkata:

"Janganlah engkau marah21".

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:

ليس الشديد بالصرعة , إنما الشديد الذي يملك نفسه عند الغضب

"Bukanlah orang yang kuat itu yang menang dalam bertarung,

akan tetapi orang yang kuat adalah yang mampu menguasai

dirinya ketika sedang marah22".

Arti "Ash-Shur'ah" adalah orang yang bertarung atau bergulat

dengan lawannya. Seperti kata "Humazah" dan "Lumazah".

Adapun "Humazah" artinya yang suka mengumpat atau memaki

orang, sedangkan "Lumazah" artinya yang suka mengejek orang

lain dengan kedipan mata.

Maka, orang yang kuat bukanlah yang menang dalam bertarung

dan mampu mengalahkan lawannya, akan tetapi "orang yang

kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika sedang

emosi", dia mampu menguasai dan menahan dirinya pada saat

sedang marah. Dan kemampuan seseorang untuk mengendalikan

dirinya ketika sedang marah termasuk akhlaq yang

mulia. Jika anda marah, janganlah anda menuruti kemarahan

anda, akan tetapi segeralah memohon perlindungan dari Allah

Subhanahu wa Ta’ala dari setan yang terkutuk. Jika anda berdiri

maka duduklah, dan jika duduk maka berbaringlah. Dan jika

rasa marah anda semakin bertambah maka segeralah berwudhu

sampai hilang dari anda rasa marah tersebut.Setiap orang bisa mendapatkan akhlaq yang mulia, hal ini dapat

dilakukan dengan cara membiasakan, bersungguh-sungguh, dan

melatih dirinya. Maka, ia dapat menjadi orang yang berakhlaq

mulia dengan beberapa perkara, di antaranya:

Pertama: Hendaklah ia mengamati dan menelaah kitab

Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nyan. Yakni

mengamati nash-nash yang menunjukan pujian terhadap akhlaq

yang agung tersebut, yang mana ia berkemauan untuk

berperilaku dengannya. Jika seorang mukmin melihat nash-nash

yang memuji-muji akhlaq atau perilaku tertentu, maka ia akan

berusaha untuk dapat menerapkan perilaku yang terpuji

tersebut pada dirinya23.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengisyaratkan akan

hal itu dalam sabdanya:

إنما مثل الجليس الصالح والجليس السوء كحامل المسك ونافخ الكير فحامل
المسك إما أن يحذيك وإما أن تبتاع منه وأما أن تجد

"Permisalan teman duduk yang baik dengan yang tidak baik,

seperti penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Adapun

penjual minyak wangi: terkadang ia akan menawarkan

minyaknya kepadamu, dan terkadang ia akan memberimu24.

Dan terkadang juga kamu akan mendapatkan darinya bau yang

wangi. Adapun teman duduk yang tidak baik ia seperti seorang

pandai besi: kalau tidak membakar pakaianmu, pasti kamu akan

mencium darinya bau yang tidak sedap 25".

Kedua: Bersahabat dengan orang yang telah dikenal

kemuliaan akhlaqnya, dan jauh dari sifat-sifat rendah dan

perbuatan-perbuatan hina. Sehingga ia menjadikan

persahabatan tersebut ibarat sebuah sekolah yang ia menimba

akhlaq yang mulia darinya. Sesungguhnya Nabi Shallallahu

‘alaihi wa Sallam telah berkata:

الرجل على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل

"Seseorang itu tergantung dengan agama sahabatnya, maka

hendaklah kalian melihat orang yang akan kalian pergaulI,

Ketiga: Hendaklah ia memperhatikan akibat buruk dari

akhlaq tercela, karena orang yang berakhlaq buruk pasti

dibenci, ditinggalkan, dan akan dikenal dengan sebutan yang

jelek. Maka, jika seseorang mengetahui bahwa akhlaq yang

buruk bisa mengakibatkan semua ini, niscaya ia akan segera

menjauhinya.

Keempat: Hendaklah ia selalu menghadirkan gambaran

akhlaq mulia Rasulullahn, bagaimanakah dahulu Beliau

Shallallahu ‘alaihi wa Sallam merendahkan dirinya di hadapan

sesama, bersikap santun terhadap mereka, mau memaafkan

mereka, dan juga selalu bersabar dari gangguan mereka.

Seandainya saja seseorang mampu menghadirkan akhlaq Nabi

Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan bahwasanya Belaiu adalah

sebaik-baik manusia, serta merupakan orang yang paling utama

dari hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala , niscaya ia akan

merasa rendah diri dan akan terpecah sifat kecongkakan yang

ada dalam dirinya. Maka, hal tersebut pun akan menjadi

penyeru baginya yang mengajak kepada perilaku yang baik.

Gambaran-Gambaran Kemuliaan Akhlaq

Di antara akhlaq yang mulia adalah: menyambung tali

silaturrahmi dari orang yang hendak memutuskannya,

seperti para saudara kerabat yang wajib bagi anda untuk

menyambung tali persaudaraan dengan mereka. Jika mereka

berusaha memutuskannya, maka sambunglah kembali tali

tersebut. Dan janganlah berkata: "siapa yang mau

menyambungnya aku pun akan menyambungnya juga!", karena

hal ini bukanlah cara untuk menyambung hubungan tali

persaudaraan, sebagaimana yang telah Nabi Shallallahu ‘alaihi

wa Sallam sabdakan:

ليس الواصل بالمكافئ إنما الواصل من إذا قطعت رحمها وصلها

"Bukanlah orang yang menyambung tali persaudaraan itu karena mengharapkan balasan, akan tetapi orang yang menyambung tali persaudaraan adalah yang terus

menyambungnya dikala orang-orang memutuskannya 27".

Ada seorang yang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa

Sallam dan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku

mempunyai saudara kerabat, aku terus menyambung tali persaudaraan

dengan mereka sedang mereka malah

memutuskannya, aku pun selalu berbuat baik akan tetapi

mereka berlaku buruk kepadaku, aku juga menyantuni mereka

sedangkan mereka tidak peduli denganku. Lalu beliau

bersabda:
إن كنت كما قلت فكأنما تسفهم الملَّ ولا يزال معك من الله ظهير
عليهم ما دمت على ذلك

"Jika dirimu memang benar demikian, sepertinya engkau telah

memasukkan rasa jemu pada diri mereka, dan akan terus ada

bagimu penolong dari Allah Subhanahu wa Ta’ala selama engkau

terus berbuat demikian 28".

Arti dari ا "engkau telah memasukkan rasa jemu pada

diri mereka" yakni: engkau seperti meletakkan debu atau abu

panas di mulut-mulut mereka.

Seandainya saja usaha untuk terus menyambung tali

persaudaraan dari orang yang berusaha untuk memutuskannya

termasuk perilaku akhlaq yang mulia, maka begitu pula usaha

untuk menyambung tali persaudaraan dari orang yang

menyambungnya juga masuk ke dalam kategori perilaku

tersebut. Dan seseorang yang mau menyambung tali

persaudaraan denganmu dan dia adalah saudara kerabatmu,

maka baginya dua hak; pertama: Hak sebagai kerabat, kedua:

Hak untuk mendapat balasan.Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

من صنع إليكم معروفًا فكافئوه

"Barang siapa berbuat ma'ruf kepadamu, maka berilah ia

balasannya 29".

Dan begitu pula, engkau harus memberikan haknya pada orang

yang menahannya, yakni mencegahnya. Dan janganlah anda

berkata: ia tidak memberiku maka aku juga tidak akan

memberinya.

Kemudian, hendaknya anda mau memaafkan orang yang

mendzalimi anda, yakni orang yang meremehkan atau

mengurangi hak anda, baik dengan memusuhi anda ataupun

dengan tidak menunaikan kewajibannya kepada anda.

Dan kedzaliman itu berkisar pada dua perkara: pertama:

Melampaui batas, kedua: Pengingkaran. Entah ia berlebihlebihan

terhadap anda dengan memukul, mengambil harta, dan

mengkoyak-koyak kehormatan anda. Ataupun ia menyangkal

anda, sehingga mencegah diri anda dari mengambil hak anda.

Sedangkan kesempurnaan seseorang hendaknya ia mau

memaafkan orang yang menganiayanya. Akan tetapi sikap

tersebut diambil ketika ia mempunyai kemampuan untuk

membalas dendam. Maka, anda rela memberinya maaf

meskipun mempunyai kemampuan untuk membalas dendam

karena disebabkan oleh beberapa perkara:

Pertama: Mengharapkan ampunan dari Allah Subhanahu wa

Ta’ala dan kasih sayang-Nya. Karena orang yang mau memberi

maaf dan berusaha untuk damai atau berbuat baik, maka

pahalanya akan ditanggung oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, Kedua: Demi memperbaiki rasa cinta dan kasih sayang yang

telah terjalin di antara anda dan sahabat anda. Karena, jika

sendainya anda membalas kejahatannya dengan yang

semisalnya, tentu akan terus berlangsung permusuhan di antara

kalian berdua. Akan tetapi, kalau anda membalas kejahatanya

dengan berbuat baik kepadanya, niscaya ia akan kembali

berbuat baik kepada anda, dan tentunya juga ia akan merasa

malu kepada anda.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah

(kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba

orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolaholah

telah menjadi teman yang sangat setia.”(QS. Fushshilat:

34)

Maka, sikap mau memberi maaf di saat kita mempunyai

kemampuan untuk membalas dendam, hal ini termasuk akhak

yang mulia. Akan tetapi dengan syarat harus terdapat

kemashlahatan di dalamnya. Jika saja sikap tersebut masih

menyebabkan perbuatan jahat dari orang yang dimaafkan, maka

dianjurkan baginya untuk tidak memaafkannya. Karena Allah

Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan syaratnya, seraya

berkata:

َ“Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik.”(QS. asy-

Syuura': 40)

Yakni terdapat kemashlahatan di dalamnya. Adapun jika hal

tersebut dapat menimbulkan kejahatan padanya atau malah

menjadi sebab tindak kejahatan lainnya, maka dalam hal ini kita, katakan kepadanya: jangan memberinya maaf! Sebagai contoh

memberi maaf orang yang fasik, jika ia dimaafkan bisa saja hal

ini malah menyebabkannya terus-menerus mengulangi perbuatan

fasiknya tersebut. Maka, tidak memberinya maaf dalam

kondisi seperti ini tentu lebih utama, atau bahkan bisa menjadi

suatu kewajiban bagi kita.

Dan di antara akhlaq yang mulia adalah: Berbakti kepada kedua

orang tua, ini karena besarnya hak yang ada pada keduanya.

Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menetapkan suatu hak

bagi seseorang, yang mana hak tersebut berada di bawah hak-

Nyaldan hak Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam secara

langsung kecuali bagi kedua orang tua. Allah Subhanahu wa

Ta’ala berfirman:

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya

dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibubapak”(

QS. an-Nisaa': 36)

Dan hak Rasul tersebut terkandung dalam perintah untuk

beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena, tidak

akan terwujud dengan benar suatu ibadah sampai seorang

hamba mau menunaikan haknya kepada Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa Sallam; yaitu dengan mencintai dan mengikuti jalan

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dan hal ini termasuk firman

Allah:

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya

dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibubapak”(

QS. an-Nisaa': 36)

Maka, bagaimanakah seorang hamba bisa beribadah kepada

Allah Subhanahu wa Ta’ala kalau tidak dari petunjuk Rasul-Nya

Shallallahu ‘alaihi wa Sallam?!.Jadi, seandainya saja ia menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala

sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

maka ia telah menunaikan haknya.

Adapun setelahnya adalah hak bagi kedua orang tua. Kedua

orang tua telah lelah dalam mendidik anaknya, terutama sang

ibu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

 و  وصينا اْلإِن  سا َ ن بِ  والِ  ديهِ إِ  ح  سانا  ح  مَلته ُأمه ُ ك  ر  ها  و  و  ضعته ُ ك  ر  ها

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada

dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah

payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).”(QS. al-

Ahqaaf: 15).

Dan dalam ayat yang lainnya Allah juga berfirman:

 و  وصينا اْلإِن  سا َ ن بِ  والِ  ديهِ  ح  مَلته ُأمه  و  هنا  عَلى  و  هنٍ

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada

dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam

keadaan lemah yang bertambah-tambah.”(QS. Luqman: 14).

Maka, seorang ibu rumah tangga sangatlah merasa lelah ketika

mengandung anaknya, ketika melahirkan, dan setelah

melahirkan. Dan ia pun lebih sayang kepada buah hatinya dari

pada sang ayah. Oleh karena itu, dia adalah figur yang paling

berhak memperoleh perlakuan yang baik dan kebaktian dari

anaknya dari pada sang ayah.

Seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

Wahai Rasulullah! Siapakah orang yang paling berhak mendapat

perlakuan yang baik dariku?, Nabi menjawab: "Ibumu", ia

bertanya lagi: Kemudian siapa?, Nabi menjawab: "Ibumu", ia

kembali bertanya: Kemudian siapa lagi?, Nabi pun kembali menjawab: "Ibumu", kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa

Sallam berkata pada keempat kalinya: "Kemudian ayahmu30".

Dan seorang ayah juga tentu merasakan keletihan ketika

mendidik anak-anaknya. Ia akan merasa jemu dikala anakanaknya

merasa jemu, dan ia pun akan merasa bahagia dikala

mereka bahagia. Ia akan terus berusaha dengan segala macam

cara untuk mendapatkan kesenangan, ketenangan dan

kelayakan hidup bagi buah hatinya. Ia rela melintasi jalan-jalan

setapak di pegunungan dan gurun-gurun yang tandus demi

mendapatkan sesuap nasi untuk dirinya dan untuk anakanaknya.

Jadi, masing-masing dari keduanya sama-sama mempunyai

hak. Meskipun engkau berbuat apa saja untuk membayarnya,

niscaya engkau tidak akan dapat memenuhinya. Untuk itulah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

 وُق ْ ل  رب ا  ر  ح  م  ه  ما َ ك  ما  ربيانِي  صغِ  يرا

“Dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,

sebagaimana mereka berdua telah mendidik Aku waktu

kecil".”(QS. al-Israa': 24).

Maka, hak mereka telah berlalu, dimana mereka berdua telah

mendidikmu sewaktu masih kecil, ketika engkau dahulu belum

mampu untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat ataupun yang

berbahaya. Maka, kewajiban bagi dirimu sekarang adalah

berbakti kepada keduanya.

Dan berbakti kepada kedua orang tua hukumnya adalah fardu

'ain bagi setiap individu dengan ijma' atau kesepakatan para

ulama. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lebih

mendahulukannya dari berjihad di jalan Allah, sebagaimana

dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud: Ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

Sallam: Wahai Rasulullah! Amalan apakah yang paling dicintai

oleh Allah?, Nabi bersabda:" Shalat tepat pada waktunya ", aku

bertanya lagi: Kemudian apa?, Nabi menjawab:" Berbakti

kepada kedua orang tua ", aku bertanya lagi: Kemudian apa

lagi?, Nabi menjawab:" Berjihad di jalan Allah 31".

Kedua orang tua tersebut adalah bapak dan ibu. Adapun kakek

dan dan nenek, mereka berdua juga mempunyai hak, akan

tetapi hak tersebut tidaklah sama dengan hak kedua orang tua.

Karena kakek dan nenek tidak terlalu merasa kelelahan, tidak

ikut serta dalam menjaga dan memperhatikan mereka secara

langsung sebagaimana yang telah dialami oleh kedua orang tua.

Maka, berbakti kepada kakek dan nenek hanyalah sebatas

menyambung tali persaudaraan saja. Adapun berbakti yang

sesungguhnya, maka hal tersebut hanyalah milik kedua orang

tua saja.

Lalu : Apakah yang dimaksud dengan berbakti?

Berbakti artinya: Menyambung kebaikan dan mencegah tindak

kejahatan sesuai dengan kemampuan.

Menyambung kebaikan kepada mereka dengan memberi harta,

dengan membantu dan dengan membahagiakan keduanya;

seperti bermanis muka, berbaik tutur kata dan berperilaku

utama serta dengan segala sesuatu yang bisa menyenangkan

keduannya.

Oleh karena itu, perkataan yang paling kuat dalam hal ini adalah

wajib bagi seorang anak untuk membantu kedua orang tua jika

memang tidak berbahaya bagi anak tersebut. Akan tetapi jika

hal tersebut bisa membahayakannya, maka tidak wajib baginya

untuk membantu keduanya, Allahumma kecuali dalam keadaan

yang sangat penting saja.Untuk itu kita katakan: Sesungguhnya taat kepada kedua orang

tua merupakan suatu kewajiban, selama hal tersebut

bermanfaat bagi keduanya dan tidak menimbulkan hal-hal yang

berbahaya bagi si anak. Adapun jika dapat membahayakannya,

entah hal tersebut bisa membahayakan agamanya; seperti

kedua orang tua menyuruhnya untuk meninggalkan kewajiban

dan melaksanakan sesuatu yang diharamkan, maka dalam hal

ini tidak ada kewajiban taat pada keduanya. Atau mungkin bisa

membahayakan raganya, maka dalam hal ini juga tidak wajib

baginya untuk taat kepada keduanya. Adapun berbakti kepada

kedunya dengan harta, maka wajib bagi seorang anak untuk

berbakti kepada kedunya dengan memberi harta pada

keduanya, meskipun dengan jumlah yang banyak jika memang

tidak berbahaya bagi si anak dan bukan merupakan harta yang

ia butuhkan. Dan khususnya bagi seorang ayah, dia berhak

mempergunakan sebagian dari harta anaknya sekehendaknya

selama hal tersebut tidak berbahya dan berlebih-lebihan.

Dan jika kita mengamati keadaan manusia pada masa sekarang

ini, tentu kita akan mendapati kebanyakan dari mereka tidak

mau berbakti kepada kedua orang tuanya, bahkan ia malah

durhaka terhadap keduanya. Sedangkan dengan sahabatsahabatnya

sendiri dia mau berbuat baik. Dia tidak bosan

duduk-duduk dengan mereka. Akan tetapi jika ia duduk bersama

ayah atau ibunya sesaat saja pada siang hari, maka engkau

akan mendapatinya merasa bosan, seolah-olah ia duduk di atas

bara api. Maka, anak seperti itu tidaklah berbakti, akan tetapi

anak yang berbakti adalah yang merasa lapang dadanya ketika

bersama ibu dan bapaknya, ia mau membantu keduanya di

hadapan mereka berdua, ia akan bekerja dengan antusias

sekuat kemampuannya, demi mendapatkan ridha dari kedua

orangtuanya.

Sebagaimana kebanyakan orang berkata: "Berbakti adalah

suatu hutang". Sesungguhnya anak yang berbakti disamping ia

akan mendapatkan pahala yang besar di akhirat kelak, maka ia

juga akan menerima balasanya di kehidupan dunia ini. Maka,

berbakti dan durhaka sebagaimana yang dikatakan orang-orangmerupakan " suatu hutang ", silahkan berhutang, tapi lunasi,

jika engkau mempersembahkan bagi keduanya kebaktian,

niscaya anak-anakmu akan berbakti kepadamu. Akan tetapi, jika

engkau durhaka kepada mereka berdua, pasti anak-anakmu pun

akan durhaka juga kepadamu.

Dan sangatlah banyak cerita-cerita yang mengisahkan tentang

seseorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, maka

anak-anaknya pun berbakti juga kepadanya. Dan begitu pula

cerita-cerita tentang seseorang yang durhaka kepada kedua

orang tuanya, yang semuanya menunjukan bahwa jika

seseorang durhaka kepada ayah atau ibunya, niscaya anakanaknya

pun akan durhaka juga kepadanya.

Dan di antara akhlaq yang mulia juga yaitu: Silaturrahmi

atau menyambung tali persaudaraan.

Ada perbedaan antara kedua orang tua dan saudara kerabat

lainnya dalam menjalin hubungan dengan mereka. Adapun

saudara kerabat, maka hak bagi mereka adalah dengan

menyambung tali persaudaraan. Adapun bagi kedua orang tua,

maka hak wajib bagi keduanya adalah dengan berbakti kepada

mereka berdua. Dan tentu saja perilaku berbakti lebih tinggi

kedudukannya dari pada hanya sekedar menyambung tali

persaudaraan. Karena berbakti merupakan limpahan kebaikan,

sedangkan menyambung tali persaudaraan tujuannya agar tidak

terputus tali tersebut. Untuk itu, orang yang tidak berbakti

disebut sebagai: orang yang durhaka, sedangkan orang yang

tidak menyambung tali persaudaraan disebut sebagai: seorang

pemutus!.

Namun, menyambung tali persaudaraan juga wajib hukumnya,

sedang memutuskannya merupakan sebab datangnya laknat

dan terhalangnya seseorang untuk masuk surga. Allah

Subhanahu wa Ta’ala berfirman:“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat

kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan

kekeluargaan?Mereka Itulah orang-orang yang dila'nati Allah

dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya

penglihatan mereka.”(QS. Muhammad: 22 & 23)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

لا يدخل الجنة قاطع

"Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali

persaudaraan32".

Dan silaturrahmi datang dalam al-Qur'an dan as-Sunnah dengan

bentuk Muthlak.

و ُ كل ما أتى  وَلم يحددِ *** بِالشرعِ كالحرِز فالعرفِ ا  ح  ددِ

Dan segala sesuatu yang belum dibatasi oleh syari'at ini,

seperti masalah tempat tuk penyimpan harta, maka dengan

'urf-lah dibatasi

Sesuai dengan ini, maka dalam masalah tersebut harus

dikembalikan pada 'urf-nya. Jadi, apa-apa yang dinamakan oleh

masyarakat sekitar sebagai cara untuk menyambung tali

persaudaraan, maka hal tersebut termasuk silaturrahmi. Dan

apa saja yang mereka sebut dengan pemutus tali persaudaraan,

maka hal ini disebut sebagai pemutus silaturrahmi. Dan hal ini

tentu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan situasi, kondisi,

waktu, tempat, dan perbedaan umat-umat.

Comments